Jumat, 10 Juni 2011

Urgensi Penamaan Pulau-pulau di Indonesia beserta Pembakuannya

Pulau adalah unsur rupa bumi yang berkontribusi terhadap struktur geografi suatu wilayah negara. Bahkan pulau juga menentukan volume wilayah suatu negara kepulauan, seperti Indonesia. Penamaan pulau amat penting dalam konteks pulau-pulau terluar (outermost islands) sesuai dengan United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982 yang kemudian diratifikasi dengan UU No. 17 Tahun 1985. Selain itu untuk kepentingan pengelolaan, dibutuhkan identitas yang jelas, sah dan diakui secara Nasional maupun Internasional.
Penamaan unsur-unsur geografi Indonesia sangat tidak terorganisir. Pemerintah sendiri belum sepakat tentang jumlah pulau di Indonesia hingga saat ini. Menurut data Departemen Dalam Negeri Republik tahun 2004, Indonesia memiliki sebanyak 17.504 pulau. Dari jumlah tersebut 7.870 di antaranya telah mempunyai nama, sedangkan 9.634 belum memiliki nama serta tidak ada dokumen resmi berkekuatan hukum yang mengukuhkan jumlah dan nama pulau yang terpublikasi selama ini. 
Kehilangan Pulau Sipadan dan Ligitan menyadarkan kita akan pentingnya nama dua pulau tersebut dalam arsip nasional kita. Sejak Deklarasi Djuanda 1957 nama kedua pulau tersebut tidak termasuk dalam daftar pulau-pulau terluar dan dalam arsip pemerintahan Belanda sebelumnya pun, nama kedua pulau itu tidak masuk dalam administrasi pemerintahan Belanda.


Urgensi Penamaan Pulau-pulau di Indonesia Beserta Pembakuannya

Jumat, 06 Mei 2011

Undang-Undang Informasi Geospasial

Setelah melalui proses penggodokan dan perjuangan panjang, RUU tentang Informasi Geospasial (RUU-IG) yang diajukan Pemerintah kepada DPR-RI pada tanggal 16 Februari 2010, telah disetujui menjadi UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG INFORMASI GEOSPASIAL. UU ini disahkan oleh Presiden Republik Indonesia di jakarta pada tanggal 21 April 2011.

Hadirnya UU-IG merupakan satu jaminan yang melengkapi hak WNI dalam memperoleh informasi untuk meningkatkan kualitas pribadi dan kualitas lingkungan sosial sebagaimana dituangkan pada Pasal 28F, UUD 1945.

Lahirnya UU-IG juga didedikasikan untuk mendukung pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya di negeri ini bagi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia, di masa kini dan masa yang akan datang, sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

UU-IG memuat prinsip penting, bahwa informasi geospasial dasar (IGD) dan secara umum informasi geospasial tematik (IGT) yang diselenggarakan instansi pemerintah dan pemerintah daerah bersifat terbuka. Artinya segenap WNI dapat mengakses dan memperoleh IGD dan sebagian besar IGT untuk dipergunakan dan dimanfaatkan dalam berbagai aspek kehidupan.

Dengan disahkannya UU-IG ini, informasi geospasial di Indonesia yang selama ini masih amburadul dapat tertata dengan rapi karena kini sudah ada kepastian hukum yang mengatur pelaksanaannya. Misalnya (sumber:hukumonline), bagi setiap orang yang mengubah informasi geospasial dasar tanpa izin dari badan dan menyebarluaskan hasilnya maka diancam dengan hukuman pidana maksimal 1 tahun penjara atau denda maksimal Rp250 juta. Pasal 61 melarang setiap orang membuat informasi geospasial yang penyajiannya tidak sesuai dengan tingkat ketelitian sumber data yang mengakibatkan timbulnya kerugian orang dan/atau barang. Bila larangan ini dilanggar, maka orang tersebut dapat dipidana penjara maksimal 3 tahun atau denda maksimal Rp750 juta.

Klik to download UU IG

UU IG harus ditindak lanjuti dengan pembuatan Peraturan Pemerintah (5 buah), Peraturan Presiden (7 buah) dan Keputusan Kepala Bakosurtanal (5 buah) sebagai petunjuk operasional dan prioritasnya adalah terkait dengan organisasi dan manajemen.


Rabu, 20 April 2011

Pemanfaatan Data Spasial untuk Mendukung Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK)

Sistem Informasi Kependudukan yang selalu
up to date sangat dibutuhkan untuk kegiatan pelayanan publik yang prima di bidang administrasi kependudukan pada suatu pemerintahan, baik di daerah maupun pusat. Namun kondisi yang terjadi di masyarakat menunjukkan bahwa pelayanan publik belum maksimal.Sistem Informasi Administrasi Kependudukan(SIAK) diharapkan mampu mendukung dan memaksimalkan kinerja pemerintah dalam menyediakan layanan publik yang prima bagi masyarakat.

Pembuatan sistem ini diawali dengan pembuatan basis data beserta interface menggunakan Microsoft Access 2003 dan Microsoft Visual Basic 6.0. Kemudian, melakukan uji coba terhadap aplikasi yang telah dibuat dengan tujuan mengetahui kebenaran hasil dari pemrosesan data serta melakukan analisa terhadap sistem tersebut.

Hasil akhir berupa program aplikasi Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) yang memiliki kemampuan :
1) menyediakan layout peta dalam bentuk digital
2) menampilkan lokasi mengenai persil tanah beserta informasinya dalam bentuk teks dan gambar
3) pencarian serta input data melalui kata kunci
4) pembuatan surat-surat terkait administrasi kependudukan
5) pembuatan laporan atau rekapitulasi
6) pencetakan

Sistem Informasi Administrasi Kependudukan

Selasa, 19 April 2011

Penentuan Datum Geodetik Batas Wilayah Laut

Mengacu pada ketentuan Konvensi Hukum Laut (UNCLOS III) tahun 1982 mengenai penetapan batas wilayah laut, dinyatakan bahwa batas kewenangan wilayah laut suatu Negara Pantai diukur dan ditentukan posisinya dari Garis Pangkal (baseline). Garis Pangkal yang digunakan untuk menentukan batas-batas wilayah taut adalah Garis Air Rendah (low water line) dimana Garis Pangkal pada umumnya diturunkan dari garis pangkal normal yang merupakan garis pertemuan antara permukaan air rendah dengan garis pantai.

Permukaan air rendah adalah Chart Datum yang didefinisikan sebagai datum vertikal. Walaupun IHO telah merekomendasikan LAT sebagai Chart Datum Intemasional namun belum semua negara menggunakannya. (Yudo Prasetyo, S2 - Geodetic Engineering, http://digilib.itb.ac.id/)

Batas maritim internasional memiliki aspek legal dan politis yang sangat kuat.
Meski demikian, aspek teknis, terutama terkait geospasial, juga sangat penting
meskipun dalam beberapa hal, pembahasannya tidak sepopuler kedua aspek
sebelumnya. Aspek geospasial ini menyangkut hal keruangan yang bereferensi
bumi. Beberapa di antaranya terkait penentuan posisi titik-titik batas yang harus
memenuhi kaidah geospasial misalnya penggunaan peta laut, datum geodesi,
sistem proyeksi peta, ketentuan garis lurus, dan pendefinisian datum vertikal.

Aspek geospasial ini wajib diperhatikan dalam membuat dan memelihara
perjanjian batas maritim karena akan terkait juga dengan penegakan hukum yang
menyertai perjanjian tersebut. Tidak disepakatinya datum geodesi yang pasti,
misalnya, akan mendatangkan kesulitan dalam menentukan posisi titik atau garis
batas di lapangan. Konsekuensinya, pelanggaran garis batas tidak akan bisa
ditentukan dengan pasti dan artinya juga tidak bisa diatasi. Sebagai contoh lain,
persoalan dalam pendefinisian datum vertikal akan berakibat timbulnya kesalahan
dalam mendefinisikan pulau, karang, atau elevasi pasut. Pendefinisian ini sangat
penting karena obyek tersebut memiliki peran khusus yang masing-masing
berbeda dalam menentukan garis pangkal yang terkait klaim yurisdiksi dan
delimitasi batas maritim. (I Made Andi Arsana, Sumaryo - http://www.borderstudies.info/)

Dari uraian diatas, maka dapat dilihat urgensi penentuan datum vertikal batas wilayah laut. Berikut sedikit paparan yang (semoga) bisa menambah referensi dan pengetahuan kita tentang batas wilayah laut :


Penentuan Datum Vertikal Batas Wilayah Laut -

Laporan Diklat Jabatan Fungsional Survei Pemetaan

Surveyor pemetaan merupakan profesi yang masih relatif langka di Indonesia walaupun sebenarnya ilmu tentang pemetaan sendiri telah lama dikenal dunia. Referensi terkait survei pemetaan masih jarang dan sulit ditemui (pengalaman pribadi, hehehe). Tulisan ini saya buat sebagai tambahan referensi bagi para surveyor di pemerintahan (a.k.a PNS) yang sedang bingung cari acuan menulis laporan diklat jabfungsurta. Check it out!!! ^^

Dalam Surat Keputusan Bersama antar Kepala
BAKOSURTANAL dan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara (MENPAN), ditetapkan bahwa semua Pegawai Negeri
Sipil (PNS) apabila memilih jenjang karir dalam jabatan
fungsional Survei dan Pemetaan (Jabfung surta), wajib untuk
mengikuti pendidikan pertama. Demikian pula halnya bagi
Pejabat Fungsional Survei dan Pemetaan yang akan masuk
ke jenjang ahli, wajib mengikuti pelatihan Jabatan fungsional tingkat ahli.

Materi Pelatihan :
1. Pemetaan Dasar
2. Penentuan Posisi
3. Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG)
4. Aplikasi Penginderaan Jauh
5. Manajemen Kualitas Data Terpadu
6. Aplikasi Pemetaan Tematik
7. Rancangan Proyek Surta: SIG
8. Teknik Pelaporan Survei dan Pemetaan
9. Regulasi Dalam Jabfung surta
10. Simulasi Perhitungan Angka Kredit
11. Citra Diri dan Etika Profesi
12. Kesehatan dan Keselamatan Kerja
13. Ergonomi dan Budaya Kerja
14. Aspek Perlindungan Konsumen
15. Pengembangan Profesi

Contoh laporan bisa di download di :


Laporan Diklat Jabatan Fungsional Survei Pemetaan -

Electronic Chart Display and Information System (ECDIS)

Electronic Chart Display and Information System

Senin, 18 April 2011

Laporan Diklat Pra-Jabatan

Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai unsur utama sumber daya manusia aparaturnegara memiliki peranan penting dalam menentukan keberhasilan penyelenggaraanpemerintahan dan pembangunan. Sosok PNS yang mampu memainkan peranan tersebutadalah PNS yang memiliki kompetensi yang diindikasikan dari sikap dan perilakunyayang penuh dengan kesetiaan dan ketaatan kepada negara, bermoral dan bermental baik,professional, sadar akan tanggung jawabnya sebagai pelayan publik, serta mampu menjadi perekat persatuan dan kesatuan bangsa.

Untuk dapat membentuk sosok PNS seperti tersebut di atas perlu dilaksanakanpembinaan melalui jalur Pendidikan dan Pelatihan (Diklat). Dalam Peraturan Pemerintah No. 101 tahun 2000 tentang Pendidikan dan PelatihanJabatan Pegawai Negeri Sipil, antara lain ditetapkan jenis-jenis Diklat PNS. Salah satujenis Diklat adalah Diklat Pra-Jabatan (Golongan I, II atau III) yang merupakan syaratpengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) untuk menjadi PNS sesuai golongantersebut diatas.

Setelah melaksanakan kegiatan Diklat tersebut, umumnya diminta untuk membuat laporan kegiatan Diklat Pra-Jabatan sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban kepada instansi. Berikut adalah 'contekan' yang bisa digunakan sebagai acuan. semoga bermanfaat!!! ^^

Laporan Diklat Prajabatan

Kesehatan dan Keselamatan Kerja Bidang Survei Pemetaan

Setiap pekerjaan mempunyai resiko, baik besar maupun kecil. Itulah mengapa penerapan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) diperlukan dalam setiap profesi, tidak terkecuali untuk mereka yang berkecimpung di bidang Survei Pemetaan. Walaupun sekilas tidak berbahaya, namun kenyataannya profesi Survei Pemetaan tidak sesederhana kelihatannya. Banyak kondisi yang berpotensi menyebabkan luka, penyakit, cacat bahkan kematian pada pekerja.

Lebih lanjut tentang bahasan ini dapat dilihat pada :


Kesehatan dan Keselamatan Kerja -

Jumat, 15 April 2011

ASPEK GEODETIK DALAM HUKUM LAUT (Studi Kasus : Batas Maritim Indonesia dengan Negara Tetangga)

I. PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara kepulauan yang berbatasan dengan sepuluh Negara tetangga
yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua Nugini, Australia dan Timor Leste.


Gambar 1. Indonesia dan Negara Tetangga

Menurut Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982, Indonesia berhak untuk menetapkan batas-batas terluar beberapa zona maritim seperti Laut Teritorial, Zona Tambahan, Zona Ekonomi Ekslusif, dan Landas kontinen. Pada setiap zona terdapat hak berdaulat yang penting bagi Indonesia. Oleh sebab itu penetapan zona maritim dan penyelesaian batas maritim dengan Negara tetangga mendesak untuk dilakukan. Indonesia sudah menetapkan batas maritim dengan beberapa negara tetangga sejak tahun 1969. Meski demikian, masih ada beberapa batas maritim dengan Negara tetangga yang belum diselesaikan, misalnya batas maritim dengan Filipina, Palau dan Timor Leste.

II. BATAS WILAYAH LAUT

II.1 Dasar Hukum Pembatasan Wilayah Laut


Gambar 2. Zona Batas Maritim [AUSLIG, 2004]

Dalam menentukan batas maritimnya, Indonesia mengacu pada Konvensi Hukum
Laut PBB ( UNCLOS) 1982. Indonesia mempunyai hak untuk menetapkan batas-batas
empat zona maritim, yaitu: Laut Teritorial (Territorial Sea), Zona tambahan (Contiguous Zone), Zone Eksklusif Ekonomi (ZEE) dan Landas Kontinen (Continental Shelf) [ IHO, 1993].

II.2 Penentuan Batas Wilayah Laut
Batas maritim antara Indonesia dengan negara tetangga pada umumnya diwakili
dengan garis yang menghubungkan beberapa titik-titik batas yang mana koordinatnya
disebutkan dalam perjanjian (bilateral maupun trilateral). Penempatan titik-titik batas dan
konfigurasi garis batas pada umumnya ditunjukkan dalam peta laut, yang dilampirkan
pada dokumen perjanjian.

III. ASPEK TEKNIS PEMBATASAN WILAYAH LAUT DI INDONESIA
Penentuan batas daerah di darat maupun laut akan melibatkan aspek-aspek teknis dan
nonteknis. Penentuan batas pada prinsipnya adalah suatu aplikasi dari penentuan posisi.
Penentuan batas ini akan melibatkan aspek-aspek teknis dan non-teknis. Disamping itu
implikasinya juga bersifat multi-dimensi, tidak hanya administratif tapi juga ekonomis,
yuridis, social budaya, serta pertahanan dan keamanan. Secara teknis, penentuan batas suatu
wilayah pada prinsipnya terdiri atas dua kegiatan utama yaitu pendefinisian batas dan
perekonstruksiannya di lapangan. Perlu dicatat di sini bahwa karena kurangnya obyek-obyek
alam yang dapat dijadikan sebagai acuan dan penampakan bentang alam yang relatif serupa,
penentuan batas wilayah di laut akan relatif lebih sulit dibandingkan dengan penetapan batas di darat.[Hadwi Soendjojo dalam Danar Guruh Pratomo, 2004]

III.1 Peta dan Koordinat Titik-titik Batas Maritim
Jenis peta yang digunakan dalam penentuan batas maritim Indonesia dengan
negara tetangga yang berbatasan pada umumnya tidak dicantumkan pada perjanjian.
Hanya perjanjian batas maritim antara Indonesia dengan Thailand yang mencantumkan
secara eksplisit jenis peta laut yang digunakan yaitu BAC (British Admiralty Chart)
No.793 dan 830.


Gambar 3. Contoh peta yang dilampirkan pada perjanjian laut teritorial antara
Indonesia-Singapura

Dalam perjanjian batas maritim antara Indonesia dan negara tetangga, koordinat
geografis (lintang, bujur) dari titik-titik batas pada umumnya telah ditetapkan, dan
lokasinya ditunjukkan pada peta yang dilampirkan pada dokumen perjanjian.

Tabel 1. Contoh bagian perjanjian batas laut territorial
antara Indonesia dengan Singapura pada 25 Mei 1973 (The Geographer, 1974).


III.2 Datum Geodetik Batas Maritim Indonesia
Datum geodetik dapat diartikan sebagai seperangkat parameter yang
mendeskripsikan hubungan antara Bumi nyata dan Bumi “matematis”, yang biasanya
diwakili dengan suatu ellipsoid referensi. Parameter datum tersebut mencakup ukuran
dan bentuk ellipsoid referensi yang digunakan beserta orientasinya terhadap Bumi.
Koordinat geodetik sebuah titik tergantung pada datum geodetiknya. Koordinat
geodetik yang sama tetapi berbeda datum geodetik akan menunjuk lokasi yang berbeda
pada permukaan bumi. Ketidakpastian datum geodetik dalam batas maritim
menyebabkan ketidakpastian posisi sebenarnya titik tersebut di lautan.
Datum geodetik tidak dinyatakan secara eksplisit dalam sebagian besar perjanjian.
Dari semua perjanjian batas maritim yang ditandatangani Indonesia dengan Negara
tetangga, hanya perjanjian ZEE antara Indonesia-Australia 1973 yang secara eksplisit
menyebutkan datum geodetik yang digunakan.
Karena datum pada umumnya tidak dinyatakan secara eksplisit, maka berdasarkan
tanggal penandatanganan perjanjian, area liputan dan datum yang telah digunakan pada
area tersebut [DMA, 1991; Smith, 1997; Dana, 2004], kemungkinan datum yang
digunakan dapat diperkirakan.

Tabel 2. Datum geodetik yang mungkin digunakan dalam batas maritime Indonesia


Saat ini WGS 84 merupakan datum yang secara luas digunakan di seluruh dunia
[DMA, 1991]. Maka datum geodetik diatas perlu ditransformasikan dalam datum WGS
84 menggunakan parameter sebagai berikut :

Tabel 3. Parameter Transformasi dari Datum Lokal ke WGS 84 [DMA,1991]
III.3 Skala Peta Yang Digunakan


Peta dasar yang digunakan adalah peta Rupabumi Dasar Laut (Bakosurtanal) atau
peta bathymetri, berskala baku dengan kisaran :
1. skala kecil (1 500.000 s/d 1 : 1.000.000)
2. skala medium (1 : 25.000 s/d 1 : 250.00)
3. skala besar (1 : 1.000 s/d 1 : 10.000)

Untuk peta batas di wilayah laut tersedia misalnya Peta Lingkungan Laut Nasional
(LLN) 1:500.000 yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, peta Lingkungan Pantai
Indonesia (LPI) 1:50.000 yang baru sebagian kecil wilayah pesisir, dan peta navigasi
1:200.000

IV. PERMASALAHAN DALAM PEMBATASAN WILAYAH LAUT
IV.1 Masalah Datum
Seperti telah dibahas sebelumnya, datum geodetik yang digunakan dalam
perjanjian batas wilayah laut antara Indonesia dengan Negara tetangga tidak pasti.
Ketidakpastian datum geodetik titik-titik batas tersebut menimbulkan kesulitan dan
masalah dalam manajemen batas maritim Indonesia. Implikasi yang disebabkan oleh
ketidakpastian datum geodetik antara lain :
1. Pergeseran Garis Batas
Ketidakpastian datum geodetik dapat menggeser garis batas dari lokasi
sebenarnya yang diasumsikan. Pergeseran garis batas tersebut dari WGS 84 berkisar
beberapa ratus meter (antara 200 sampai 400 meter), tergantung dari datum geodetik
awal yang ditetapkan dalam perjanjian. Pergeseran garis batas ini dapat
menguntungkan Indonesia secara spasial, namun di lain pihak dapat tidak
menguntungkan.
Tabel 4. Pergeseran batas maritim Indonesia


2. Mempengaruhi garis-garis batas yang lain
Ketidakpastian datum suatu garis batas tertentu, juga mempengaruhi garis
batas lain yang berhubungan dengan garis tersebut. Jika ada 2 buah datum lokal
untuk 2 garis batas yang berhubungan, setelah salah satu garis batas tersebut
ditransformasikan dalam WGS 84, maka kedua garis tersebut tidak akan terhubung
lagi karena koordinat titik hubung antara keduanya berubah dan tidak berimpit lagi.
Agar tetap terhubung, datum untuk garis batas yang kedua juga harus diubah dalam
WGS 84 menjadi satu sistem.
3. Kebutuhan akan Navigasi Teliti
Pada era dimana navigasi teliti (level akurasi di bawah satuan meter) mungkin
dicapai menggunakan ECDIS dan sistem penentuan posisi DGPS [Forbes, 2004],
kebutuhan akan datum geodetik titik batas maritim yang baku makin meningkat.
4. Eksplorasi Sumberdaya Alam di Area Perbatasan
Sepanjang batas maritim Indonesia terdapat beberapa area yang kaya
sumberdaya alam potensial seperti gas dan minyak bumi. Dalam mengeksplorasi
sumberdaya alam tersebut, kepastian lokasi garis batas sangat diperlukan karena hal
ini sangat berpengaruh pada aspek finansial.

IV.2 Masalah Ketelitian dan Kesalahan (Errors)
1. Kesalahan konsep (Conceptual Errors)
- Pengertian sistem koordinat.
- Salah penafsiran mengenai pengertian “garis lurus” yang menghubungkan dua titik
batas yang bersebelahan.
- Arah batas atau heading.
2. Kesalahan transformasi (Transformation Errors)
- Pengetahuan tentang beberapa parameter transformasi.
3. Kesalahan posisi (Positional Errors).
- Perkiraan koordinat-koordinat yang optimal secara statistik.
- Confidence region dan error ellipse.

V. BATAS MARITIM INDONESIA
Dari sepuluh negara tetangga, Indonesia sudah berhasil membuat kesepakatan dengan
7 negara, sedangkan 3 negara lainnya masih belum disepakati sama sekali.

V.1. Batas Maritim yang Sudah Disepakati
1. Indonesia-India
Kesepakatan ini ditandatangani di New Delhi pada tanggal 14 Januari 1977, dan
disahkan di Indonesia pada tanggal 16 Agustus 1978.
Batas maritim yang telah disepakati adalah perpanjangan garis batas landas
kontinen antara Laut Andaman dan Samudra Hindia, yang ditarik dari titik pertemuan
3 negara (Indonesia, India dan Thailand, 07º47’00” LU 95º 31’48” BT) ke arah barat
daya, dan mempunyai koordinat 07º46’06” LU ; 96º31’12” BT).
2. Indonesia-Thailand
Kesepakatan ini ditandatangani di New Delhi pada tanggal 26 Juni 1978. Garis
batas dasar laut yang telah disepakati adalah garis lurus di sekitar Laut Andaman,
yang ditarik dari titik pertemuan 3 negara ke arah Tenggara sampai ketitik yang
mempunyai koordinat 07º48’00” LU ; 95º32’48” BT.
3. Indonesia-Singapura
Penegasan batas negara mulai diadakan sejak awal 1970an, setelah dilakukan
perundingan, akhirnya kedua negara menyepakati 6 titik koordinat sebagai batas laut.
Kesepakatan ini berlaku mulai tanggal 8 Desember 1973. Namun setelah itu masih
terdapat beberapa perundingan, yang terakhir berlangsung pada 29 Maret 2007.
4. Indonesia-Vietnam
Rangkaian perundingan landas kontinen bergulir sejak tahun 1972. Kata sepakat
dicapai pada tanggal 23 Juni 2003, dengan prinsip main land to main land (landas
kontinen ditarik dari pulau besar ke pulau besar), dan disahkan 4 tahun kemudian
pada tanggal 13 februari 2007.
5. Indonesia-Papua Nugini
Berdasarkan perundingan yang berlangsung dari tahun 1971 – 1980, diperoleh
titik-titik batas daerah dasar laut, yaitu garis lateral yang menghubungkan 6 buah titik
batas di depan pantai selatan Irian, dan 2 titik batas di depan pantai utara Irian.
Kesepakatan ini di tandatangani pada tanggal 13 November 1980, dan disahkan pada
tahun 1982 oleh pemerintah Indonesia.
6. Indonesia-Australia
Sampai saat ini Indonesia telah menyepakati 6 perjanjian batas maritim, atas nama
Australia dan Papua Nugini. Kesepakatan yang ada mulai tentang batas landas
kontinen di Laut Arafuru dan Laut Timor, batas maritim di sebelah selatan Pulau
Tanimbar, Pulau Rote dan Pulau Timor, batas maritim di Samudra Pasifik sampai
yang terakhir pada tanggal 14 Maret 1997 untuk tubuh air, ZEE, dan dasar laut.
7. Indonesia-Malaysia
Hal yang disepakati adalah garis batas antar kedua negara yang teletak di Selat
Malaka yang sempit , yaitu di selat yang lebar antara garis dasar kurang dari 24 mil.
Dilakukan dengan metode garis tengah, yaitu garis yang menghubungkan titik-titik
yang sama jaraknya . Kesepakatan ini berlangsung di Kuala Lumpur pada tanggal 21
Desember 1971 dan disahkan pada tanggal 11 Maret 1972.

V.2. Batas Maritim yang Belum Disepakati
1. Indonesia-Filipina
Terdapat 2 masalah pokok yang menyebabkan Filipina dan Indonesia belum
menemukan kata sepakat :
1) masih diberlakukannya Traktat Paris 1989 dan Traktat 1930, yang
mengakibatkan wilayah maritim Filipina berbentuk kotak. Di lain pihak
Indonesia cenderung mengacu pada UNCLOS.
2) sengketa kepemilikan ganda Pulau Miangas.

Perkembangan selanjutnya menunjukkan kedua negara bersepakat untuk mengacu
kepada UNCLOS dan menetapkan Miangas sepenuhnya milik Indonesia. Meski
demikian, perundingan antara kedua negara belum mencapai kata sepakat.
2. Indonesia-Palau
Alasan paling mendasar adalah belum terjadinya hubungan diplomatik antar
kedua negara. Sejauh ini palau belum menerima usulan penyelesaian batas Maritim
yang diajukan Indonesia. Meski demikian, penjajagan untuk membuka hubungan
diplomatik sudah dilakukan sehingga harapannya penyelesaian batas segera bisa
dirundingkan.
3. Indonesia-Timor Leste
Timor Leste melepaskan diri dari bagian NKRI dan memplokamirkan
kemerdekaanya pada tanggal 20 Mei 2002. Seiring pemisahan diri itu maka batas
wilayah maritim harus diselesaikan. Terdapat 3 daerah potensi lokasi batas maritime
Indonesia-Timor Leste. Penanganan batas maritim belum bisa dilaksanakan
dikarenakan harus menunggu penyelesaian batas darat terlebih dahulu (batas darat
sekitar + 97 % yang terselesaikan).
Tabel 5. Status Persetujuan Batas Maritim Indonesia dengan Negara Tetangga
[The Geographer, 1990; Forbes, 1995].


VI. KASUS-KASUS BATAS MARITIM DI INDONESIA
Adanya kesepakatan mengenai batas maritim Indonesia dengan negara tetangga, bukan
berarti tidak terjadi sengketa di dalamnya. Berikut adalah beberapa kasus yang terjadi
mengenai batas maritim Indonesia dengan Negara tetangga.
VI.1. Kasus Ambalat (Indonesia – Malaysia)
Blok Ambalat terletak di Laut Sulawesi, sebelah timur Pulau Borneo. Kasus ini
terkait dengan hak berdaulat (sovereign rights) bukan kedaulatan (sovereignty) karena
terjadi di kawasan landas kontinen, bukan di laut teritorial.
Awal mula terjadinya konflik adalah ketika tanggal 16 Februari 2005 perusahaan
minyak Malaysia (Petronas) memberikan konsensi untuk esksplorasi minyak kepada
perusahaan Shell asal Inggris. Sementara Ambalat yang oleh Indonesia disebut dengan
blok Ambalat dan blok East Ambalat itu sendiri adalah wilayah yang padanya
Indonesia telah melakukan eksplorasi/eksploitasi. Indonesia sudah memberikan
konsensi eksplorasi kepada perusahaan Italia (ENI) pada tahun 1999. Sedangkan untuk
blok East Ambalat diberikan kepada perusahaan Amerika Serikat (UNOCAL) pada
tahun 2004.
Terjadinya sengketa ini terkait erat dengan belum terselesaikannya batas maritim
antara Indonesia dengan Malaysia di Laut Sulawesi. Diberikannya kedaulatan atas
Sipadan dan Ligitan kepada Malaysia tahun 2002 oleh Mahkamah Internasional, dalam
beberapa hal juga berpengaruh atas sengketa ini.
VI.2. Kasus Reklamasi Pantai (Indonesia – Singapura)
Setelah kesepakatan antara Indonesia – Singapura diratifikasi, sebenarnya tidak
ada sengketa yang timbul diantara kedua belah pihak pada tahun 1974. Namun barubaru
ini isu batas maritim kembali merebak, hal ini dikarenakan Singapura melakukan
reklamasi pantai. Reklamasi ini merupakan kegiatan memperluas daerah daratan
Singapura dengan penimbunan dan membentuk area baru. Dengan demikian bisa
dikatakan ini akan menyebabkan perubahan garis pantai. Dalam kondisi tertentu, hal ini
bisa mengakibatkan perubahan garis pangkal Singapura. Perlu untuk diantisipasi
bilamana Singapura mengklaim garis pangkal baru untuk kepentingan delimitasi batas
antara Indonesia dengan Singapura di segmen yang hingga kini belum terselesaikan.
VI.3. Kasus Penangkapan Nelayan
Sering terjadi penangkapan kapal-kapal nelayan tradisional Indonesia oleh
pemerintah Australia di daerah perbatasan Indonesia-Australia. Kasus ini terkait dengan
batas maritim.
Dalam hal ini bukan karena tidak ada garis batas tetapi lebih karena kurangnya
pemahaman akan garis batas terutama oleh nelayan. Selain itu, bisa juga disebabkan
oleh tidak dihormatinya (oleh Australia) kesepakatan yang ada seperti Memorandum of
Understanding 1974 tentang hak penangkapan ikan di sekitar Pulau Pasir oleh nelayan
Indonesia meskipun secara hukum Pulau Pasir adalah milik Australia. Yang tidak
diizinkan ialah penangkapan kura-kura (turtles).
Contoh lain, penangkapan nelayan di Selat Malaka juga terjadi. Perlu diingat
bahwa pada kawasan Selat Malaka bagian utara, indonesia dan Malaysia belum
menegaskan batas maritim ZEE sehingga secara hukum tubuh air belum terdelimitasi.
Konsekuensinya, belum bisa dikatakan adanya pelanggaran batas oleh nelayan.
Sayangnya Malaysia bersikukuh menganggap bahwa batas landas kontinen adalah
sekaligus batas ZEE. Persoalan ini belum terselesaikan.

VII. PENUTUP
VII.1 Kesimpulan
1. Masalah batas maritim dengan negara yang berbatasan mendesak untuk
diselesaikan karena menyangkut hak berdaulat dan kedaulatan negara tersebut.
2. Datum yang digunakan dalam perjanjian penetapan batas maritim Indonesia
dengan negara tetangga berbeda-beda, sehingga menimbulkan berbagai masalah
dan kesulitan dalam manajemen batas maritim Indonesia.
3. Dari sepuluh negara tetangga, Indonesia sudah berhasil membuat kesepakatan
dengan 7 negara, sedangkan 3 negara lainnya masih belum disepakati.
4. Walaupun sudah ada kesepakatan mengenai batas maritim Indonesia dengan
negara tetangga, tetap saja terdapat masalah antara lain kasus Ambalat (Indonesia
– Malaysia), reklamasi pantai (Indonesia – Singapura) dan penangkapan nelayan
(Indonesia – Australia).

VII.2 Saran
1. Perlu dilakukan unifikasi datum (misalnya transformasi datum-datum lokal ke
datum global WGS ‘84) dalam pemetaan batas maritim Indonesia dengan negara
tetangga.
2. Segera menyelesaikan atau merundingkan masalah batas maritim dengan negara
lain yang belum terselesaikan.
3. Sebaiknya antar negara mematuhi dan menghormati kesepakatan batas maritim
yang telah dibuat agar hubungan kedua negara tidak terganggu.

DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Hasanuddin Z, et. al. 2005. Geodetic Datum of Indonesian Maritime Boundaries : Status
and Problems. Cairo, Egypt : From Pharaohs to Geoinformatics FIG Working Week
2005 and GSDI-8.
Amhar, Fahmi, dkk. 2001. Aspek-aspek Pemetaan Batas Wilayah Sebuah Tinjauan
Komprehensif. GEO-INFORMATIKA Vol. 8 No. 1, Agustus 2001.
Arsana, I.M.A. 2008. Aplikasi Google Maps API untuk Pembuatan Sistem Informasi Geografis
Batas Maritim Indonesia Berbasis Internet. Jogjakarta : Jurusan Teknik Geodesi,
Fakultas Teknik Universitas Gajahmada.
Pratomo, Danar Guruh. 2004. Aspek Teknis Pembatasan Wilayah Laut Dalam Undang Undang
No.22 Tahun 1999. Surabaya : Pertemuan Ilmiah Tahunan I Teknik Geodesi – ITS.
Vanicek, Petr. 1997. On The Errors In The Delimitation Of Maritime Space. Canada :
Department of Geodesy and Geomatics Engineering, University of New Brunswick
Fredericton.

Kamis, 14 April 2011

PERMASALAHAN HUKUM ZONA EKONOMI EKSKLUSIF (ZEE) DAN LANDAS KONTINEN DALAM KONVENSI HUKUM LAUT 1982


Permasalahan Hukum Zona Ekonomi Eksklusif -